Total Tayangan Halaman
Senin, 26 September 2011
kaligrafi bambu,sumber daya bernilai tinggi
Senin, 25 Juli 2011
Ayunan Kayu
Tetapi, aku bisa mengingat dimana letak prasasti hidup atas nama cinta kedua orangtuaku,pertama kali diletakkan sang takdir,dua tahun setelah nafas hidupku berhembus sempurna.
Yah, aku selalu cukup sadar untuk mengabadikan memori bahwa sebuah ayunan kayu-lah yang mengawali seluruh perjalananku menyusupi ruang dan waktu.
Sedikit ingatan mengenai masa itu.Ketika duduk di atas ayunan kayu,aku mengucapkan terima kasih pada dia yang berbisik lembut dalam hatiku.'Terima kasih telah membawaku dalam dunia baru ini,detik ini akan ku ingat sebagai sebuah awal dimana alam sadarku menyadari,bahwa langkah kaki ini telah menjadi satu dengan bumi."
Rona Jingga Langit Tua
Alangkah bahagianya raga kecilku menatap peraduan mentari. Ia membenamkan dirinya dibawah bingkai langit yang menua tergerus peradaban bumi. Pipi langit tua itu nampak di Ujung Pandangan mataku, merona cantik dengan riasan jingga cerah diatas gelombang biru.
Muda dan tersenyum, aku berdiri di pusat kota bersama para pemilik hatiku. Dan kemudian, aku kian menyadari, kecantikan langit tua tak hanya menjadi milik kami. Mereka-sesamaku manusia ciptaan Tuhan yang berbahagia-berada pula disana,memandang hitam putih selimut malam.
Namun nafas langit tua semakin tajam menghembus lapisan kulit berlapis sedikit lemak. Aroma laut Losari menyatu bersama malam bertabur bintang. Raga lapar dan dahaga terdorong kuat menilik satu dari puluhan tenda putih bersaji hidangan penghuni laut lepas.
Dan satu waktu di masa kecilku telah terlalui bersama langit tua yang kini kian keriput dibalut tebalnya polesan debu bumi manusia.
Sabtu, 25 Juni 2011
Psikologi Komunikasi Anak Autis
Pekerja Sosial Masyarakat
“Tidak benar pernyataan kemiskinan sudah menurun. Masyarakat desa terutama daerah pelosok masih banyak yang merintih. Pembagian kartu jaminan kesejahteraan sosial masyarakat tidak merata, banyak juga yang mendapat tetapi tidak bisa menggunakannya”
Pernyataan dari para para Pekerja Sosial Masyarakat tersebut dilontarkan untuk menyikapi masih sulitnya masyarakat miskin memperoleh berbagai jaminan kesejahteraan sosial yang dijanjikan negara. Kondisi terdesak kebutuhan ekonomi seperti ini pernah dialami oleh seorang pedagang angkringan bernama Sukani. Pria ini sempat putus asa karena tidak mampu membiayai pendidikan anak-anaknya. Ada juga seorang pria bernama Papang yang tidak mampu membayar biaya pengobatan ginjal ayahnya
Sukani dan Papang, hanya sedikit contoh dari banyak orang-orang tidak mampu yang bisa berdiri tegak kembali setelah mendapat uluran tangan dari para pekerja sosial masyarakat (PSM).
Kini, Sukani sudah mulai tersenyum lega setelah beberapa bulan lalu kehilangan harapan,“Saya sudah bisa menyekolahkan anak-anak dari hasil angkringan. Berkat program pendampingan dari PSM, didampingi langsung oleh Mas Priyono sebagai penggagas kelompok angkringan Kube Mandiri ini,” ungkap Sukani yang membuka angkringannya di seputaran area Mandala Krida.
Sama halnya dengan Sukani, Papang, seorang warga Bantul, merasa peran PSM sangat total dalam membantu mendapatkan keringanan biaya rumah sakit. “PSM langsung bertindak menghubungi dinas sosial dan pejabat terkait lainnya, sampai akhirnya dana bantuan untuk cuci darah tersebut bisa cair. Dan saya kagum karena mereka non-profit, tidak menarik keuntungan apapun,”ujarnya.
Dalam pandangan mereka, anggota pekerja sosial masyarakat adalah relawan sosial. “Sampai sekarang tidak pernah Mas Pri meminta uang kepada saya, imbalan rokok sekalipun dia tolak,” tegas Sukani.
Status para pekerja sosial masyarakat ini adalah relawan, bukan pegawai negri sipil Mereka juga bukan Lembaga Swadaya Masyarakat. Meski begitu organisasinya ada di seluruh Indonesia dan berada di bawah naungan Departemen Sosial Republik Indonesia
Berdasarkan keterangan dari website resmi Departemen Sosial, pemerintah melalui Departemen Sosial RI sejak tahun 1979 telah melatih masyarakat sebagai motivator, stabilisator dan pendamping sosial dalam masyarakat yang kemudian disebut dengan nama Pekerja Sosial Masyarakat (PSM).
Menurut Departemen Sosial, dilatarbelakangi pertimbangan atas permasalahan sosial dalam masyarakat begitu kompleks sehingga diperlukan penanganan secara sungguh-sungguh, cepat, tepat dan berkelanjutan. Maka untuk menyelesaikan permasalahan sosial dalam masyarakat tersebut diperlukan adanya motivator, stabilisator dan pendamping sosial yang hidup serta berkembang dalam masyarakat itu sendiri.
Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, Drs. Rusli Wahid, dalam buku pedoman kebijaksanaan dan strategi pemberdayaan pekerja sosial masyarakat, menerangkan lebih lanjut mengenai organisasi ini. PSM merupakan relawan dari masyarakat yang berdomisili di desa-desa sampai kelurahan seluruh Indonesia
Rusli Wahid juga menegaskan bahwa pekerja sosial masyarakat mempunyai posisi strategis sebagai mitra pemerintah dalam pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial di tingkat desa atau kelurahan. “PSM adalah warga masyarakat yang peduli, memiliki wawasan, komitmen kesejahteraan sosial, telah mengikuti program pendidikan dan pelatihan kesejahteraan sosial. Mereka disebut pula sebagai relawan sosial,” terangnya.
Selain itu, tambah Rusli, sebagai motivator, stabilisator dan pendamping sosial, perlu dibekali pengetahuan dan pemahaman lebih terhadap permasalahan sosial yang ada dalam lingkungannya, untuk selanjutnya berkiprah sesuai dengan kultur dan tradisi lingkungan sehingga tidak terkesan ekslusif.
Fasilitas kegiatan PSM cukup sederhana. Mereka hanya memiliki baju seragam, atribut, buku panduan dan tanda pengenal. Melawan ketidakadilan birokrasi organisasi terhadap masyarakat miskin adalah inti dari perjalanan karya seorang pekerja sosial masyarakat. Mereka membuat program-program pemberdayaan masyarakat untuk menjembatani masyarakat memperoleh hak kesejahteraan sosial seperti yang dijanjikan negarat. Ketika harus melawan ketidakadilan birokrasi organisasi yang kerap berpihak pada kuasa uang, mereka akan mengajukan argumen sesuai dasar peraturan negara mengenai jaminan hak kesejahteraan sosial masyarakat.
Hal ini pula yang selama ini dilakukan oleh sosok pria bertubuh kurus bernama Priyono. Pria ini sudah tak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat miskin di daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Ia merupakan salah satu pekerja sosial masyarakat (PSM) Jogja yang dikenal paling aktif menangani berbagai permasalahan kesejahteraan sosial.
Priyono mengatakan, pekerja sosial masyarakat harus berkarya dengan hati nurani, semaksimal mungkin membantu terselesaikannya masalah sosial terutama yang diakibatkan oleh ketidakadilan birokrasi. “Dan yang paling penting jangan pernah meminta maupun menerima imbalan.”
Dalam rumahnya yang sangat sederhana di Semaki Gede, Yogyakarta, Priyono menyimpan rapi seluruh arsip mengenai dasar hukum kegiatan Pekerja Sosial Masyarakat. Tak hanya itu, ayah dua anak ini juga menyimpan berbagai peraturan perundang-undangan negara mengenai hak kesejahteraan sosial masyarakat. Dan yang paling menarik adalah catatan-catatan yang menunjukkan telah terselesaikannya masalah biaya masyarakat tidak mampu, dilengkapi dengan tanda bukti pengesahan yang diberikan langsung oleh para pejabat-pejabat didaerah.
Priyono menegaskan, semua data tersebut menunjukkan kalau kinerja pekerja sosial masyarakat benar adanya dan bisa dipertanggungjawabkan.”Boleh juga ditanyakan pendapat setiap orang yang kami bantu ini, apakah pernah kami meminta atau menerima sesuatu dari mereka sebagai balas jasa?”katanya.
Para relawan ini tidak memperoleh gaji dari pemerintah seperti mereka yang menyandang status pegawai negri sipil. Namun, bekerja tanpa imbalan bukan berarti mereka berasal dari keluarga mapan.
Priyono telah 12 tahun bekerja sebagai PSM. Pekerjaan ini tidak menjanjikan materi apapun padanya. Oleh karena itu, di sela-sela aktifitasnya sebagai PSM, Priyono tetap harus bekerja untuk mendapatkan pemasukan ekonomi bangi keluarganya. Hal ini harus dilakukan untuk menutup pengeluaran yang besar terutama jika harus bepergian menemui masyarakat di wilayah yang jauh dari kota Jogja.
”Kalau dompet saya bisa nangis, pasti dari dulu menangis, karena harus siap selalu tekor biaya terutama untuk bensin. Tapi sekali lagi kembali pada hati nurani, jika ikhlas pasti selalu akan ada jalan,”ujarnya pasrah.
Priyono berkata dirinya bersukur mendapat kontrak menjadi supervisor untuk yayasan pembasmi jentik nyamuk sampai akhir Juli 2010.”Tetapi setelah kontrak selesai, saya harus berusaha mencari sumber pemasukan lain untuk biaya hidup keluarga,”ujarnya seraya tersenyum.
Sebelumnya, mantan ketua PSM kecamatan Semaki ini juga menjajaki usaha menjual parfum botolan yang didistribusikan di wilayah-wilayah seputar Jogja. “Memang penghasilan tidak tetap, tapi paling tidak untuk satu bulan bisa mendapat Rp.400.000,00 dan bisa saya gunakan untuk keluarga serta menambah biaya menjalankan kegiatan PSM,” ujar Priyono.
Dana kegiatan sosial para anggota PSM diberikan oleh dinas sosial sebulan sekali setiap rapat di kelurahan. “Namanya uang absensi. Jadi anggota PSM yang datang ke rapat membahas masalah-masalah masyarakat di kelurahannya masing-masing, diberikan uang absensi itu. Setiap orang sebesar Rp.6.000,00,”jelasnya.
Sama halnya menurut Sri Widyaningsih Wahwu, ketua Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat (IKPSM) Keparakan. Selain itu, di setiap kecamatan juga mengumpulkan dana secara swadaya.
“PSM memang tidak dibayar untuk membantu program pemerintah, tetapi yang pasti kami iklas mendampingi mereka yang perlu pendampingan sosial, dan semua dilakukan tanpa imbalan,” kata Sri.
Menurut wanita yang membuka usaha ayam bakar di rumahnya ini, kerjasama kelembagaan PSM memang sangat kuat dari tingkat nasional hingga kecamatan di Indonesia,“Misalnya saja untuk kecamatan Keparakan, kami selalu mengadakan musyawarah, mencari solusi bagaimana bisa memecahkan masalah-masalah sosial di sekitar lingkungan.”
Selain itu, untuk menunjang kegiatan pendampingan masyarakat, PSM juga melakukan pembinaan di Panti Karya yang terletak di jalan Penaungan, Brontokusuman, Yogyakarta. Kegiatan di tempat ini antara lain penanganan orang hilang yang ditemukan di Yogyakarta, kekerasan dalam rumah tangga, pembinaan anak jalanan, bantuan untuk para warga lanjut usia.
Sri mengatakan, inilah salah satu wujud program PSM yang tanggap masalah sosial. Dalam mendampingi orang terlantar, gelandangan, dan gangguan mental, harus dilakukan penyelidikan dari mana mereka berasal.
“Mereka ditampung di Panti Karya, dilakukan pendampingan setidaknya untuk membuat kondisi fisik dan mentalnya lebih baik, sampai jelas siapa keluarganya. Dan jika ternyata berasal dari daerah lain, sudah ada dana pemulangan khusus dari propinsi,”ujarnya.
Sedangkan pendampingan sosial untuk masalah kesehatan dan pendidikan, menurut Sri, harus dipastikan ke rumah orang tersebut apakah mereka benar-benar bukan keluarga berpenghasilan tetap dan mapan. Selain itu, perlu diketahui apakah keluarga tersebut memiliki Jaminan Kesejahteraan Sosial (Jamkesmas), Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), ataupun Kartu Menuju Sehat (KMS). “Jika mereka memiliki semua itu namun tetap kesulitan mendapat keringanan, PSM yang akan mendampingi sampai menghubungi dinas sosial setempat dan instansi terkait lainnya,”ujar Sri.
Saat mengusahakan keluarnya ijazah yang ditahan pihak sekolah karena siswa tidak mampu membayar, PSM berupaya menjembatani hingga ke dinas pendidikan kota untuk mencari solusinya. “Diusahakan mereka yang benar-benar tidak mampu paling tidak bisa mendapat keringanan biaya,”ujar Sri.
Dari salah satu pengalaman yang diingat Priyono baru-baru ini, saat hendak memasuki masa ujian sekolah, ada empat orang ibu yang datang ke rumahnya. “Mereka mengeluh anak-anaknya tidak diijinkan ujian karena belum mampu membayar biaya. Akhirnya, saya ajak menemui kepala dinas pendidikan Yogyakarta, Drs. Syamsuri,”ungkapnya.
Priyono mengungkapkan, Drs. Syamsuri bisa memahami permasalahan tersebut,“Setiap orangtua hanya membayar biaya ujian tersebut sampai jumlah yang mereka mampu saja, dana selebihnya dibantu oleh dinas pendidikan.”
“Saya berani katakan, selama ini dari pengalaman PSM selama berkoordinasi dengan pemerintah daerah kota Yogyakarta, masalah menyangkut masyarakat seperti ini selalu ditanggapi sangat baik dan cepat,”ungkapnya.
Totalitas pendampingan para pekerja sosial masyarakat itulah yang juga sangat dirasakan Papang. Dia mengatakan, seluruh penghasilan dan harta milik keluarga sudah digunakan seluruhnya untuk biaya cuci darah.
“Saya sempat bingung juga karena tidak punya Surat Keterangan Tidak Mampu maupun jaminan kesehatan lainnya. Akhirnya, ada tetangga saya menyarankan untuk meminta pendampingan pekerja sosial masyarakat,”kisahnya.
Saat membantu Papang, ungkap Priyono, sempat juga terjadi adu argumentasi dengan camat, lurah, dan pihak lembaga yang mengurus klaim,“Saya tunjukkan bukti kartu nama dan seragam PSM sebagai kepanjangan tangan dinas sosial. Kalau memang pelayanan terhadap orang kecil seperti ini tidak jalan saya akan ajukan ke dinas atau faks mentri kesehatan.”
Akhirnya, permohonan klaim dikabulkan dan Papang mendapat uang pencairan klaim serta potongan gratis 8 kali cuci darah dari Jaminan Kesehatan Sosial (Jamkesos).
Masalah serupa juga terjadi saat seorang buruh cuci meminta bantuan pendampingan untuk meringankan biaya rumah sakit bagi anaknya yang stress. “Perawatan selama 2 minggu disuruh membayar biaya rumah sakit milik pemerintah itu sebesar Rp. 1.900.000,00, padahal punya surat keterangan tidak mampu.”
“Saya perlihatkan aturan-aturan jaminan kesejahteraan sosial, keluarkan kartu nama PSM, tapi namanya debat dengan orang ngeyel, jalan akhir saya ajukan pengaduan ke DPR propinsi,”ujarnya.
Beberapa waktu kemudian, lanjutnya, ibu itu mengabarkan kalau pihak rumah sakit bersedia memberikan keringanan dan hanya mengharuskan membayar Rp. 900.000,00.”
Menurut seorang anggota forum komunikasi PSM dari kelurahan Gondokusuman, Koen Surahman, masalah seperti ini banyak muncul karena masih lemahnya koordinasi antar pemerintah dan lembaga-lembaga layanan masyarakat.
Koen menegaskan, jika pemerintah ingin membuat suatu program sebaiknya dilakukan sosialisasi optimal dengan lembaga-lembaga terkait,“Sosialisasi perlu dilakukan supaya realisasi program jaminan kesejahteraan sosial masyarakat itu dapat diterapkan tepat sasaran.”
Misalnya saja untuk masalah kesehatan. Masyarakat miskin masih sering dibebani membayar biaya yang cukup besar. ”Kartu Menuju Sehat (KMS) fungsinya untuk menebus obat harusnya tidak dikenakan biaya karena obat ditanggung rumah sakit,”ungkapnya.
Selain itu, menurut Koen, banyak orang yang tidak tahu bagaimana seharusnya prosedur mendapatkan jaminan sosial diberlakukan. Maka untuk mereka yang tidak mampu secara ekonomi perlu pendampingan jika menemui kesulitan-kesulitan tersebut. “Oleh karena PSM tahu persis aturan-aturan itu, ada data yang sangat akurat dari dinas sosial, dalam melaksanakan tanggungjawab pendampingan, kami tidak pernah sembarangan bertindak. Semua ada dasarnya,”ujarnya.
Di sisi lain, selain membantu penanganan masalah sosial yang perlu secepatnya diatasi, anggota PSM juga jeli memikirkan program sosial yang bisa meningkatkan kecukupan ekonomi masyarakat miskin. Ini bisa dilakukan melalui pendampingan usaha mandiri masyarakat, seperti program terbaru PSM Yogyakarta selama enam bulan terakhir ini. “Ada 50 pedagang angkringan binaan PSM kota antara lain di Malioboro dan Mandala Krida, kami jadikan satu kelompok yang disebut Kube Mandiri,”jelas Priyono.
Untuk pengelolaan lebih lanjut terutama masalah dana, PSM bekerjasama dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Yogyakarta serta dinas sosial, dan juga mendapat kepercayaan langsung dari ibu wakil walikota, Anna Muslichdatun.
Sukani, anggota Kube Mandiri, mengaku sebelumnya sempat putus asa atas terbatasnya biaya penddidikan. “Saat ketemu dengan mas Priyono saya diajak bergabung dalam kelompok Kube Mandiri, sekarang hasil mulai bisa dirasakan terutama menunjang pendidikan anak-anak,”ungkap pria pemilik angkringan di Jalan Tunjung belakang Mandala Krida ini.
Pada dasarnya, pekerja sosial masyarakat dapat menjadi salah satu pilar pembangunan bangsa dalam meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat yang butuh perhatian, seperti yang dikatakan Ibnu Gerindra dari PSM kelurahan Terban. “Organisasi sosial ini dibentuk dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Sebagai lembaga legal diakui pemerintah, PSM menjadi ujung tombak penanganan masalah di wilayah masing-masing,” jelasnya.
Di wilayah Yogyakarta, menurut Ibnu, ada sekitar seribu pekerja sosial masyarakat dari kelurahan, kecamatan, kota sampai propinsi. Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap pengurus memahami apa arti sesungguhnya PSM untuk masyarakat. “Jangan hanya menangani hal-hal sebatas birokrasi seperti mendata orang, tapi tidak pernah langsung datang ke lapangan menemui masyarakat kecil, memahami masalah mereka dan berupaya mencari solusinya,” tegas pria yang pernah mendapat penghargaan sebagai PSM teladan ini.
“Setiap orang yang telah memiliki panggilan hati menjadi relawan ini, secara organisasi harus paham benar mengenai visi dasar hukum serta visi dan misi PSM, posisinya di tengah pemerintah dan masyarakat, serta tujuan dari setiap program yang dijalankan,” ujar Priyono.
Selain itu, Sri Widyaningsih Wahwu juga menambahkan, anggota pekerja sosial masyarakat harus pandai berkomunikasi serta dapat menjaga relasi dengan semua pihak mulai dari masyarakat hingga kalangan pemerintahan.
Oleh karena itu, seperti yang dijelaskan Ibnu Gerindra, dalam rangka meningkatkan kinerja membangun kesejahteraan sosial, dibentuk pula Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat (FKPSM). Forum ini berada dibawah binaan Departemen Sosial. “Melalui FKPSM, semua anggota PSM seluruh Indonesia bisa berkomunikasi, berkoordinasi, dan berkonsultasi mengenai kegiatan-kegiatan sosial,”terang Ibnu Gerindra.
Selain itu, lanjutnya, tujuan FKPSM juga untuk meningkatkan kualitas kerja setiap anggota terutama dalam membangun kemitraan dengan berbagai pihak.
“Terutama jika menghadapi situasi tanggap darurat seperti bencana alam di suatu wilayah, FKPSM di setiap kota bisa melakukan koordinasi mengumpulkan bantuan yang diperlukan masyarakat,”jelasnya.
Maka, untuk mengemban seluruh tugas sosial tersebut, sudah seharusnya anggota pekerja sosial masyarakat juga diperhatikan kesejahteraannya, mengingat sebagai relawan tanpa bayar mereka harus mencari sendiri pemasukan ekonominya.
Ibnu mengungkapkan, meski tidak digaji, kesejahteraan PSM tetap diperhatikan oleh dinas sosial dengan memberikan bimbingan dasar ekonomi produktif,“Ada bimbingan bagaimana memperoleh pemasukan dengan membentuk usaha-usaha kelompok maupun pribadi. Disitulah PSM dilibatkan, jadi tidak langsung diberikan gaji atau sejenisnya.”
Ini juga merupakan wujud keteladanan yang dicontohkan kepada masyarakat. “Tidak ada artinya jika seseorang selalu mengomentari permasalahan sosial tetapi tidak pernah bergabung dengan masyarakat melakukan usaha untuk meminimalisir masalah tersebut,”jelasnya.
Seperti yang diungkapkan Priyono, tidak benar jika dikatakan kemiskinan sudah menurun. “Kami tahu persis ketika mendatangi masyarakat di desa-desa dan daerah pelosok. Masyarakat merintih. Jamkesos, Jamkesmas, SKTM, banyak yang tidak mendapat karena pembagiannya tidak rata, dan banyak juga yang dapat jaminan tersebut, tetapi tidak bisa digunakan,” ungkap Priyono.
Dalam menangani masalah sosial di masyarakat, seharusnya pemerintah tidak hanya melakukan pendataan jarak jauh ataupun memberikan komentar-komentar, namun tidak melihat realitas kehidupan masyarakat daerah-daerah yang kurang perhatian. Jika hanya dilakukan demikian, tetap saja suatu program yang dirancang tidak akan berjalan tepat sasaran. Peluang oknum-oknum tertentu untuk mengeruk keuntungan juga akan semakin besar.
Kinerja para relawan ini bisa dijadikan contoh. Mereka menghabiskan sebagian besar waktu dan biaya pribadi untuk melakukan berbagai aktivitas sosial.Semua itu tanpa memikirkan hasil dibelakang. Hal itulah yang seharusnya dilakukan pemerintah pusat hingga pemerintah daerah, sehingga layak jika memang ingin disebut sebagai wakil rakyat.