Total Tayangan Halaman

Senin, 19 September 2016

Fantasi Musim Semi


musim semi
tiba di lembah angin 
hutan~hutan terjaga
dari tidurnya yang gugur

di antara bunga seruni
menengadah rumput ilalang
kuda-kuda sembrani
mengunyah rerumputan kering
bersanding sayap-sayap bangau 
kibasnya dipantulkan danau

Bilakah kau juga disini, di antara
euforia kecil kala musim semi
mari rapalkan kidung perjalanan 
mengulum potongan mimpi
dengan sudut-sudut bibir kita
yang masih mampu bergetar


#

kau pernah bertanya padaku
di musim semi ini
apakah ingin juga pergi
ke perkebunan sunyi 
dan menabur biji-bijian?

tunggulah
hingga kusemai
rindangnya impian
ke dalam lumbung-lumbung 
masa muda
sebelum musim berganti 
dan mengentas
khayalan masa kecilku











Sabtu, 17 September 2016

Sajak Kecil Untuk Puisi



Adakah di musim ini kau masih terjaga 
merawat metafor sajak-sajak
yang mencabik sunyi di peraduan kita?

Ya, pada suatu musim
kau menanam rindu di pekarangan rumah
menanti benih yang entah kapan tampak pucuknya
d manakala udara membeku
siulanmu merapalkan kidung sajak yg sunyi 
pada sepetak ladang hujan

Ah, aku sempat berjanji pulang padamu
Saat langit sore berselubung jingga 
di musim rintik yang meranggas
atau ketika kau telah berhenti
Menuliskan sajak-sajak yang merintih


Jumat, 16 September 2016

Api Arang Gie

Gie
sebatang pena
yang rebah 
digenggam perkasa 
Mahameru

#
sejumput bunga rumput 
dekat kayu tua yang baka
dihunus 
sumbu angin gunung
memagut irisan paru-paru
berkelebat
racun halimun

#
senyap alam kasat-mata
takkan memilah-milah 
siapa penjaga tungku
api arang pemuda
yang dilumpuhkan, semeru
bagi takdir 
mati muda

#
Soe Hok Gie
Pena, Gunung, dan Puisi

kebenaran semesta 
hanya fana api arang
ketika piranti kuasa 
menumpulkan
mata nurani
penguasa tiran



Minggu, 11 September 2016

Suatu Sore di Tugu

Kau datang ke kotaku
melalui pintu stasiun
di sisa-sisa senja 
tugu jogja

rindumu masih memburu 
masa silam dalam kekinian kota 
yang kian terkepung
rimba raya hotel muda
berhias dedaunan plastik
dikelilingi hamparan
kabel-kabel listrik

#
dari simpang2 kereta
kilas pandang menyapu 
semampai tugu kota
golong gilig, white paal 
memintal angin
memusat garis imajiner
bersumbu magistik
dikelilingi
ritus perjalanan
mobil, motor, trans, becak,
dan sepeda


Sejurus langkah
Malioboro
kitalah konsumen
bagi pasar-pasar simbol
dengan serabutan makna 
yang terhimpit 
pada sekujur wisata toko
hingga pasar beringharjo 

#

di keramaian ini
kau masih suka 
mencecap
serbuk ingatan masa silam
pada kusen-kusen bangunan lawas
yang menyaksikan
sang mantan ibukota
terlahir ulang
dari nyawa para pejuang

Vredeburg, begitu perkasa
pada masanya
benteng sejarah
berdiri utuh, dalam
status prestisius
bangunan cagar budaya

sementara 
pada sudut usang
di depan arus stasiun
berdiri Hotel Toegoe
terkenang megah, 
dikala masa kolonial
lantas disunting 
pejuang-pejuang muda
dalam serangan umum
1 maret 1949

takdirnya kini
menanti sentuhan
terkurung rapat-rapat
serapat memori hidup dan mati 
merebut jantung kota
dalam lonceng, tanpa gaung
mungkin kini telah patah
menjadi riwayat

#
kita ini
pengecap nikmat euforia
wisata kota
dalam dilema senyap
berpuluh rumah tua
dan bangunan lawas
separuh melebur 
hancur
tanpa status

kadang yang selamat
mesti berpaling 
berganti tembok baru
sementara
yang menunggu selamat 
masih dipasung
pemilik-pemilik tanah
hingga mangkrak
sampai kapan, entahlah

hampirlah tandas
manis sruput
filosofi es teh ini
jadi marilah pulang
ke desa yang rindang

tidur malam
sampai pulas




Sabtu, 10 September 2016

Dapur Ningsih


Jelaga itu hitam
Tak setebal warna lebam
Dermaga itu kusam
Tak seburuk wajah karam
Tak setegar laki-laki lapar

Pagi-pagi buta
(Sapu-menyapu dapur)

Api tungku menyala panas
(Saatnya mengasah pisau dapur)


Pintu belakang masih terkunci
(Ingin lari, kabur)

#

Meronta-ronta hati
mencari matahari
bunga muda, bini ketiga!
tubuh remuk merengek
terpasung kawat prostitusi
terjebak kawin paksa.

Hei kau, pemburu gadis lugu
Aku Ningsih 
Bukan, kelambu kasurmu
Bukan pengepul dapurmu!

*Memetik inspirasi dari film Berbagi Suami*





Kesempatan Kedua

Sekali lagi
mungkin kudapati 
hening telagamu
yang tak pernah surut 
menjernihkan cinta
bagi kehidupanku
dan bilamana kelak
kau ingin
simpang lengan ini
menjelma rindang 
pelukan

mungkin dapat kucuri
benih-benih airmata itu
dari kelabunya awan hujan
di batas keningmu

Sayang
kirimkan ulang 
harapan yang sempat karam
agar labuhanku kini abadi



Gadis Rintik


Gadis Rintik,
Bagimu ruji-ruji jendela
serupa penjara jiwa
ketukan pintu ngeri dan tajam
sementara pekarangan rumah 
menyemai luka demi luka
dalam senyap ini
siapa lagi ingin berpulang?

#
Desiran angin,
semula rindang
kini beringsut anyir, menusuk hidung
usai diguyur hujan peluru
mengunci ratusan jerit, tumpang-tindih suaranya
di batas pagar-pagar pekarangan
yang terakhir pergi kadang tak bernama, 
dan nisan demi nisan, hanya antah-berantah

#
nada-nada sunyi, makin tiada
digertakkan patahan-patahan ranting
seperti pada masa dahulu
Ayah
hanya pengumpul kayu
sebelum prosesi hutan kelabu
menghapus jejak pundaknya
'’Bisakah ayah kembali?" 
gadis rintik bertanya, disambut desah ibu
yang terhujam panah sembilu
"mari kita siapkan nisan, untuk kemejanya."

#
Gadis rintik
Binar matanya telah melarung
sejarah
yang kelam
dihujani airmata
dalam pusara rindu tanpa batas
dan bisiknya tak tentu arah
Apa kabar, Ayah?“

Jumat, 09 September 2016

Kopi Si Jalang


Aku jalang
Aku ingin mengecap
secangkir kopi pekat
sambil pandangi
getir wajahmu
yang berlinang pahit

Biarkan pintu mulut ini terkunci
lidah kaku takkan bersilat
terpagut kata morat-marit 
yang sering meracau 
sangat kacau, bagimu

Aku sedang butuh diam
hanya bersetubuh dengan ilusi

Hey!
jangan datang mengetuk pintu 
ini hingar petang yang kelu
mengapa kau bawa rantang
menantang si jalang?

Pergi.
aku menampik roti tanpa ragi
atau sisa-sisa nasi basi
apalagi kopi pahit 
bekasmu mengumpat, ‘jalang!

Sungguh. Kau bukan haluan angin 
yang mabukkan warasku

Aku sedang ingin diam
hanya bersetubuh dengan ilusi.


Dalam Gerimis

Separuh jarak kita 
tercabik senyap

Biarkan aku sejenak
menyesapi harap 
yang dirundung kalut
Hey,
gerimis memecah embun
pada kaca jendela yang licin
isyarat wajahmu melintas-lintas
dalam semunya ruang kamarku
"ah, dunia cermin tak selalu jujur," ucapku meragu
Padahal masih dapat ku hirup aroma tubuhmu
menyatu keranjang bunga-bunga tabur
nanti hendak kubawa serta
dengan cerita
tentang peraduan tidurmu 
yang abadi
"Tunggu, apakah lagi-lagi aku terjebak ilusi, karna rasa setengah merindu?"

Pasti. Sbab hujan senja ini
Pekat menyamarkan tiadamu
Lantas tebaklah pintaku 
jika kau tak lagi menjadi nyata?
"Kirim saja bagiku selusin ilusi gerimis. Temani aku dalam bisu yang memburu."


Rumah Terakhir Ibu

Berkelana Ia, perempuan itu
ditemani sekelumit 
bayang-bayang matahari

angin kering
menyapu keriput kulitnya
Ia menyinggahkan letih 
di rumah jompo
sebidang punggung 
bertopang tulang renta

di rumah jompo
Ia disinggahkan 
untuk makan, tidur,
dan bangun ketika pagi
bangku taman 
menjadi tempatnya duduk
dengan wajah termangu
menanti yang bila mungkin 
akan singgah
dan menyisiri musim gugur 
pada batang-batang
rambutnya

#
Hay, kau bertanya
Siapa perempuan itu
yang sepanjang waktu 
tak pernah ingin selesai 
membakar cinta?

perempuan itu
penghimpun keringat
yang tangguh
di masanya memburuh
demi sepetak rumah
demi melindungi mimpi anak~anak
dengan sujud doa yang 
melantun sepanjang malam
kepada pemilik sejuta langit

#
Ia pun perempuan
yang sendirian ketika tua
perempuan yang
fantasinya dirajam
oleh mimpi-mimpi maut
ketika malam 
bertudung kelam

gigilnya udara
bersenandung kidung syahdu
sepucuk doa cinta 
mencari balas suara
yang lama hilang
di batas telapak kaki
ibukota
#
kini, Ia sedang menanti
kecupan terakhir
sebelum usai berlabuh
dalam nama Ibu

ya, setiap ibu senja
punya pintu-pintu pulang
bernama sanubari
pintu itu diketuk keyakinan 
jika anak-anak kehidupan
hanya sementara pergi 
untuk berburu matahari 

mungkin kelak 
bayang-bayang mereka akan pulang 
dengan sepenuh tubuh
kembali 
pada rumah terakhir Ibu.