Total Tayangan Halaman

Sabtu, 25 Juni 2011

Psikologi Komunikasi Anak Autis


Seorang anak nampak tertawa bahagia ketika berbicara dan bermain bersama keluarga serta teman-temannya. Tatapan mata nan ceria menandakan adanya kebahagiaan sempurna dalam pribadi yang siap menata masa depan dengan penuh harapan. Di setiap rentang usia si anak mampu mengasah kemampuan fisik dan kepribadiannya agar dapat diterima sebagai bagian dari masyarakat yang tidak pernah lepas dari kebutuhan untuk saling berkomunikasi.

Dibawah bimbingan orangtua dan guru, semua anak memang dapat dengan mudah belajar bagaimana cara mengkomunikasikan diri dengan baik. Namun bagi anak-anak penderita autisme, komunikasi seperti halnya anak-anak lain, merupakan hal yang sangat sulit dilakukan.

Autisme bukanlah suatu penyakit fisik tetapi merupakan sindroma (kumpulan gejala) dimana terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap sekitar sehingga anak autisme hidup dalam dunianya sendiri (Yatim, 2007:10).

Maka dalam menulis paper ini, saya ingin menggali mengenai autisme melalui ilmu psikologi. Hal pertama yang perlu dperdalam adalah penjelasan mengapa prilaku atau tindakan anak autis berbeda dengan anak-anak lain. Kemudian, memprediksi apa yang akan terjadi di kemudian hari pada anak autis tersebut. Terakhir, upaya apa yang bisa dilakukan untuk mengarahkan anak autis pada peristiwa mental dan prilaku yang lebih terkendali, karena pada umumnya anak autis sulit menurut bahkan cenderung memiliki kebiasaan menjerit-jerit atau memukul-mukul dirinya sendiri.

Berawal dari sebuah pengalaman, kegiatan liputan unit kegiatan Pasti UAJY sekitar dua tahun lalu membawa saya ke sebuah sekolah pendidikan khusus anak autis yaitu sekolah Citra Mulya Mandiri di daerah Maguwo Jogja. Para anak didik disana berusia sekitar 5-12 tahun. Wajah mereka polos namun tatapan matanya hampa. Ada yang asik bertepuk tangan, mengeluarkan suara-suara aneh seperti jeritan, berlari tanpa tujuan, dan terus bergerak menggoyang-goyangkan badannya. Anak-anak itu seolah hidup dalam dunianya sendiri. Permainan yang berlangsung dalam sebuah kelompok terdiri dari beberapa anak lebih seperti permainan individu.

Saya sempat melakukan wawancara dengan kepala sekolah Citra Mulya Mandiri, Eni Winarti, untuk mengetahui lebih dalam mengenai pendidikan anak autis. Menurutnya, autisme memang bukanlah penyakit fisik tetapi kumpulan gejala kelainan prilaku dan kemajuan perkembangan. Seorang anak yang mengidap autisme biasanya tidak perduli dengan lingkungan sekitar, dan tidak bereaksi dengan normal dalam pergaulan sosialnya termasuk mengalami kesulitan perkembangan bicara dan bahasa. Eni Winarti mengatakan penyebab autis memang belum diketahui pasti oleh para ahli, namun jelas bahwa gangguan yang paling menonjol adalah pada kemampuan berkomunikasi terutama pemahaman bahasa saat harus melakukan interaksi sosial.

Penjelasan ini seperti halnya yang dikemukakan oleh Faisal Yatim dalam buku mengenai terapi autis (2007:24). Kualitas komunikasi pada anak autis menjadi sangat buruk, mereka tidak mampu menganalisis dan memahami sistem komunikasi manusia. Kemampuan bicara mengalami keterlambatan, bahasa yang tidak lazim selalu diulang-ulang, dan tidak nampak usaha dari si anak untuk berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Mereka juga tidak mampu berbagi rasa terhadap perasaan orang sekitar dalam hal hubungan antar teman sepergaulan serta perilaku berkomunikasi.

Selain itu, si anak mengalami kegagalan bertatap mata serta wajah tidak ekspresif, adanya preokupasi yang sangat terbatas pada pola perilaku yang tidak normal seperti duduk diam berjam-jam sambil terus melakukan suatu hal seperti misalnya memutar-mutar satu mainan. Dalam prilaku, anak memiliki ritual untuk selalu mengulang hal yang sama. Ada gerakan motorik berulang-ulang seperti menggoyang-goyang badan ataupun memutar-mutar kepala. Artinya, komunikasi menjadi tidak efektif bagi anak autis. Padahal komunikasi tidak efektif tentu sangat berpengaruh dalam melakukan interaksi sosial.

Menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss dalam buku Psikologi Komunikasi, paling tidak komunikasi efektif menimbulkan lima hal yaitu pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik, dan tindakan.
Pengertian artinya penerimaan yang cermat dari isi stimuli seperti yang dimaksud oleh komunikator (Rakhmat, 2008:13). Kegagalan menerima isi pesan secara cermat disebut kegagalan komunikasi primer, dalam hal ini terutama anak autis mengalami kegagalan menerima isi pesan. Komunikasi juga dimaksudkan untuk menimbulkan kesenangan dan kehangatan hubungan, namun pada kasus anak autis, kesenangan terhadap benda maupun manusia ditunjukkan dengan emosi yang mendalam.

Beberapa stimulus yang mengundang respon bagi anak-anak autistik dapat berupa benda maupun peristiwa. Namun, adanya gangguan pemrosesan pada anak autistik dapat mengakibatkan reaksi emosional yang tidak tepat atau ekstrim sehingga menyebabkan kebingungan dan ketakutan. Dalam beberapa penelitian mengenai emosi pada anak autis didapatkan beberapa stimulus yang menimbulkan respon emosi adalah benda-benda yang ada di dalam kehidupan mereka sehari-hari (Greenspan dan Wieder, 2006).

Saat bermain, anak autis memiliki kebiasaan yang berbeda dengan anak-anak normal lainnya. Mereka tidak mampu memahami bagaimana cara menggunakan suatu benda khususnya mainan, cenderung menyenangi mainan yang berputar dan jika memiliki satu benda, benda itulah yang akan terus dibawanya kemana-mana.

Seorang teman yang memiliki sekolah terapi autis Taman Biji Sesawi di Semarang menjelaskan pada saya bahwa anak autis sulit melepaskan benda kesayangannya, mengamuk dan tidak memperdulikan terapis jika dia tidak mendapatkan keinginannya seperti mainan, sampai berprilaku menyakiti seperti memukul diri sendiri. Selain kecintaan pada benda, mereka juga menyimpan perasaan mendalam pada orang-orang yang disukainya, menurut teman saya, ada beberapa anak autis yang mampu menunjukkan rasa suka kepada seseorang dengan komunikasi verbal. Biasanya mereka menggoyang-goyangkan badan didekat orang itu (keluarga atau terapisnya), meniru tindakan, dan mengikuti kemanapun orang yang disukainya pergi.

Jika melihat betapa mendalamnya emosi anak autis terutama menyangkut apa yang menjadi kesukaanya, kita bisa mencoba memahami dasar kepribadian mereka melalui teori Sigmund Freud. Sigmund Freud menjelaskan bahwa perilaku manusia merupakan hasil interaksi antara tiga subsistem dalam kepribadian manusia, yaitu ID, ego, dan superego.

ID adalah subsistem atau bagian dalam diri kita yang mendorong kita melakukan sesuatu secara biologis, membuat kita bertahan hidup dan mendorong kita untuk berbuat sesuatu tanpa disadari. Ego lebih menjembatani keinginan tuntutan ID dengan dunia luar, mediator antara hasrat nafsu dengan tuntutan rasional realistik, mampu menundukkan dorongan ID manusia dengan bergerak berbasis realistis. 

Sedangkan superego merupakan polisi kepribadian yang ideal, unsur moral dalam pertimbangan manusia serta internalisasi dari norma-norma sosial. Dari penjelasan Sigmund Freud ini, dapat disimpulkan bahwa pada anak autis dasar kepribadian yang lebih condong adalah ID. Hal ini dikarenakan mereka lebih sering melakukan tindakan-tindakan biologis dan berbuat sesuatu tanpa sepenuhnya disadari, namun ketika menyukai sesuatu akan teguh mempertahankannya.

Disini ego tidak memiliki pengaruh kuat karena tidak mampu mendorong pengendalian ID dengan rasionalitas melalui pemahaman akan norma-norma serta aturan dunia luar. Sama halnya dengan superego yang tidak berpengaruh karena ketidakpahaman akan unsur moral dan hati nurani yang berfungsi memahami norma-norma sosial serta bagaimana perasaan orang lain. Seperti yang diungkapkan Faisal Yatim, anak autis tidak mampu berempati dan membaca perasaan orang lain.

Maka komunikasi dengan autis dalam konteks mempengaruhi sikap, bukanlah komunikasi yang bersifat persuasif, tetapi lebih untuk komunikasi yang bersifat terapi melalui hubungan interpersonal yang sedekat mungkin, sehingga diharapkan dapat mengarahkan tindakan anak menjadi lebih baik terutama dalam hal mengontrol emosi. Emosi yang tidak stabil menjadi ciri utama anak autis. Seringkali mereka mengamuk, menangis, dan tertawa tanpa penyebab yang jelas.

Melihat semua hal tadi yang terutama menimbulkan pertanyaan mengapa kepribadian anak autis menjadi berbeda dengan anak lain terutama dalam proses komunikasi, kita bisa melihat mundur ke belakang dari pola komunikasi orangtua dimasa awal kehidupan si anak. Meskipun memang para ahlipun belum menemukan penyebab pasti autis dan hanya memperkirakan dari sisi medis maupun psikologi, namun orangtua terutama keluarga sangat berperan besar membentuk sikap hidup anak, terlepas dari kenyataan apakah tanda-tanda autisme sudah terlihat sejak anak masih bayi atau balita.

Seorang ahli bedah otak bernama Penfield (Harris, 1987:21) berkesimpulan :
“Orang merasakan lagi emosi yang pada mulanya dihasilkan oleh keadaan dalam dirinya. Dan dia sadar akan interpretasi yang sama, benar atau salah, yang dia berikan terhadap pengalaman itu pada saat-saat pertama. Jadi, ingatan yang timbul bukanlah reproduksi fotografis atau fonografis adegan atau peristiwa masa lampau. Tepatnya, ingatan itu adalah reproduksi dari apa yang dilihat, didengar, dirasa dan dimengerti”
Kumpulan data melihat, mendengar, merasa dan mengerti inilah yang disebut sebagai bagian kanak-kanak. Anak kecil yang belum memiliki perbendaharaan kata sendiri selama masa awal hidupya menunjukkan sebagian besar reaksi yang berwujud perasaan. Emerson, seperti yang dikutip Thomas A. Haris dalam buku mengenai analisis transaksional, mengatakan bahwa mengarahkan pandangan masam pada anak hanya akan memperbanyak perasaan negatif pada diri anak tersebut. Selama masa tidak berdaya ini banyak tuntutan yang mutlak dan tak kenal kompromi yang ditimpakan pada anak. Di satu pihak, anak mempunyai dorongan untuk berbuat sekehendak hatinya, menyelidiki, menghantam, membuat gaduh, serta meluapkan perasaan. Di pihak lain, ada tuntutan tetap dari lingkungan terutama orangtua untuk selalu melakukan seluruh perintah orangtuanya namun jarang menerima pujian ataupun hadiah.
Akibat sampingan yang paling utama dari proses ini adalah perasaan negatif sehingga anak menyimpulkan dirinya “Saya tidak oke”. Kesimpulan ini ditambah dengan perasaan yang tidak menyenangkan yang dialami terus menerus yang menimbulkan serta memperkuat kesimpulan tersebut dan terekan dalam otak. Rekaman permanen ini menjadi ampas dari bagian kanak-kanak (Harris, 1987:22)
Jika orangtua membentuk perasaan negatif tersebut sejak usia dini, maka inilah yang mungkin dapat menjadi pemicu autisme terutama tampak saat anak mulai memasuki usia 5 tahun keatas. Pencetus autisme (Yatim, 2007:18) memang bisa saja hanya karena merasa kecewa, marah, bosan, takut, cemas, atau perubahan lingkungan kesehariannya. Anak menjadi tidak cukup merasa percaya diri saat berinteraksi sosial.
Dalam melakukan interaksi sosial, menurut Faisal Yatim, anak autisme dikelompokkan menjadi tiga tipe. Pertama adalah tipe penyendiri, terlihat menghindari kontak fisik dengan lingkungannya. Meskipun bisa saja pada awalnya kelihatan biasa dan nyaman bermain dengan teman sebayanya, tetapi hal ini hanya terjadi dalam waktu singkat karena dirinya tidak mampu berada dalam suasana yang akrab dan hangat lebih lama.
Kedua, bertendensi kurang menggunakan kata-kata dan kadang-kadang sulit merubah meskipun sudah berusia lanjut. Ketiga, menghabiskan hari berjam-jam untuk sendiri, dan kalau berbuat sesuatu selalu melakukannya berulang-ulang. Keempat, sangat tergantung pada kegiatan sehari-hari, dengan gangguan perilaku termasuk bunyi-bunyi aneh, gerakan tangan, tabiat yang mudah marah, melukai diri sendiri, menyerang teman bergaul, merusak dan menghancurkan mainan sendiri.
L. S. Kubie (dalam Harris, 1987:37) mengungkapkan tentang perkembangan sikap sebagai berikut :
“Kita dapat membuat suatu kesimpulan (deduksi) tertentu yaitu sejak awal kehidupan, kadang-kadang pada bulan-bulan awal kehidupan atau beberapa waktu setelah itu:sikap emosional dasar sering telah terbentuk...bukti klinis yang sudah jelas adalah bahwa kalau sikap emosional dasar telah terbentuk sejak awal kehidupan, maka sikap tersebut akan menjadi sikap efektif dan orang itu cenderung bertitik tolak pada sikap tersebut secara otomatis selama hidupnya. Sikap ini bisa menjadi pelindung yang penting atau menjadi titil lemah terbesar. Pembentukan sikap emosional yang dasar ini dapat dianggap salah satu hal yang terjadi dalam perkembangan saraf manusia. Sebab hal ini dapat terjadi pada masa bayi belum dapat bicara atau mengenal lambang.”
Pada waktu kelahiran biologis. Anak kecil, dalam waktu beberapa jam saja, dipaksa memasuki suatu keadaan yang sangat asing seperti suara ribut, rasa tak berdaya, cahaya silau, dan ada rasa ketakutan sehingga seringkali bayi menangis. Banyak teori tentang lahirnya goncangan batin pada kelahiran mengatakan bahwa perasaan yang ditimbulkan peristiwa ini direkam dan mengendap dengan bentuk tertentu dalam otak.
Sang bayi dibanjiri oleh banyak rangsangan yang tidak menyenangkan dan perasaan yang timbul dalam diri anak inilah menurut Freud merupakan model semua kecemasan yang terjadi di kemudian hari (Freud dalam Harris, 1987). Maka apa yang dikatakan Freud inilah juga dapat kita simpulkan menjadi salah satu penyebab autisme dimana ada juga anak autis yang merasa terganggu dan menolak jika harus melakukan komunikasi verbal seperti kontak fisik langsung melalui sentuhan, pelukan atau ciuman bahkan dengan orangtuanya sendiri.
Menurut teori perkembangan kognitif dari Psikolog Swiss, Jean Piaget, individu secara aktif membangun pemahaman mengenai dunia melalui empat tahap perkembangan kognitif (Santrock, 2007:52). Pertama, tahap sensorimotor yang berlangsung mulai dari lahir hingga usia sekitar 2 tahun. Menurutnya cara memahami dunia secara berbeda itulah yang membuat sebuah tahap lebih tinggi dibandingkan tahap lainnya, hanya sekedar memiliki informasi lebih banyak tidak berarti membuat pemikiran seseorang lebih tinggi. Kognisi anak di sebuah tahap secara kualitatif berbeda dibandingkan tahap lainnya.
Kedua, tahap praoperasional yang berlangsung kurang lebih dari usia 2 hingga 7 tahun. Dalam tahap ini anak-anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata, bayangan, dan gambar. Ketiga, tahap operasional konkret yang berlangsung kurang lebih dari usia 7-11 tahun dimana anak-anak dapat mulai bernalar secara logis dan melakukan operasi yang melibatkan objek-objek.
Tahap terakhir adalah operasional berlangsung antara usia 11-15 tahun dimana individu melampaui pengalaman-pengalaman konkret dan berpikir lebih abstrak serta logis.
Melihat teori Piaget, dapat dikatakan bahwa pada anak autis teori hanya mengena sampai tahap kedua yaitu tahap praoperasional. Tahap sensorimotor dimana bayi membangun pemahaman mengenai dunia dan mulai mengoordinasikan pengalaman-pengalaman sensoris (melihat-mendengar) yang disertai tindakan fisik
. Ketika membicarakan soal atensi dari sudut pandang psikolog kognitif masa kini kita mengacu pada sebuah proses kognitif yang menyeleksi informasi penting di dunia sekeliling kita (melalui pancaindra) sehingga otak kita tidak secara berlebihan dipenuhi oleh informasi yang tidak terbatas jumlahnya (Solso dan Maclin, 2002:90).
Sensasi adalah pengalaman elementer yang segera, tidak memerlukan penguraian verbal, simbolis, konseptual, dan terutama sekali berhubungan dengan alat indra. Apa saja yang menyentuh alat indra disebut dengan stimuli. Sedangkan persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli indrawi (Rakhmat, 2008:49-50).
Anak autis mengalami gangguan pemrosesan sensorik, tidak dapat mengintegrasikan data emosional yang masuk dan menafsirkannya dari berbagai sudut pandang. Reaktifitas sensorik atau gangguan pemrosesan dapat menyebabkan kesalahan dalam menafsirkan informasi emosional yang diperoleh dari sekelilingnya sehingga mengakibatkan reaksi emosional yang tidak tepat (Greenspan dan Weider, 2006). Kelemahan anak autis adalah mengenali kandungan emosi dari stimulus yang dihadapi sehingga mereka mengalami kesulitan dalam mengenali emosi orang lain, kemudian menjadi tidak mampu mengekspresikan emosinya apalagi melakukan kontak emosi.
Setelah menjawbn pertanyaan fundamental psikologi mengapa anak autis bisa memiliki karakter yang berbeda jauh dengan anak normal lainnya, yang kemudian perlu dipikirkan adalah menyangkut prediksi apa yang bisa terjadi dengan anak autis di kemudian hari dan bagaimana upaya pengendalian peristiwa mental serta perilakunya.
Jika melihat sisi kepribadian anak autis yang jiwanya tidak sangat labil, bisa dikatakan sulit memprediksi apakah setelah menginjak dewasa semua anak autis akan berhasil atau tidak melawan gangguan ini. Pada dasarnya, autisme memang memiliki tingkatan ringan dan berat, namun ragam gangguannya juga bermacam-macam. Apalagi jika tarafnya adalah autis berat (misalnya kebiasaan bertepuk tangan meski tidak dalam suasana sedih atau gembira dan sering mengamuk) akan semakin sulit memotivasi mereka untuk melawan autisme tersebut dari dalam pribadi diri sendiri.
Sebagian besar masyarakat sangat meragukan jika anak autis setelah dewasa akan bisa memiliki masa depan cemerlang. Tapi nyatanya ada sebagian besar dari mereka yang pada akhirnya mampu berprestasi menghasilkan sesuatu yang berkarya seni tinggi, seperti lukisan-lukisan indah. Rata-rata anak autis memang sangat suka mencoret-coret dan menggambar. Vincentia Esthanya, pemilik sekolah terapi autis Biji Sesawi Semarang mengatakan kemampuan anak autis lebih menonjol pada bidang keterampilan. Banyak dari mereka yang berkat bimbingan dari keluarga serta terapis, berhasil menemukan sisi cemerlang dirinya yang selama ini terselubung oleh tindakan-tindakan autisme.
Pada tingkat autis yang ringan, misalnya anak yang masih bisa berkomunikasi dengan normal namun sangat tertutup dan bisa menjalin keakraban dengan orang lain, saat dewasa banyak yang ternyata mampu mencapai jenjang sarjana, hanya saja mereka tidak bisa menjalin komunikasi hangat dengan orang lain serta menjadi marah jika barang-barang pribadinya disentuh orang lain.
Vincentia Esthanya mengatakan, prediksi masa depan anak autis sebenarnya bisa dilihat dari hoby apa yang disukainya ketika menjalani terapi. Dari situ, keluarga dan terapis bisa mendorong si anak mengembangkan keterampilannya sehingga bisa bekerja sesuai keterampilan tersebut.
Seperti yang terjadi pada Jimmy, anak autis yang kini beranjak dewasa. Menurut Vincentia, saat menjalani terapi, Jimmy diajarkan beberapa hal seperti duduk diam tanpa mengganggu orang lain dan berbagai kegiatan dasar lainnya. Karena sering diajari dan diarahkan merapikan berbagai hal seperti memasang perlak, sprei, dsb, kini Jimmy menggunakan keterampilan sekaligus hobynya merapikan tersebut untuk bekerja sambilan di sebuah hotel berbintang di Belanda sebagai pengatur tempat tidur. Ia juga adalah seorang teknisi komputer handal.
Oleh karena itu, untuk membuka kesempatan anak autis memiliki masa depan yang lebih cerah seperti Jimmy, banyak orang tua yang kini mulai mempercayakan pendidikan anaknya ke sekolah-sekolah khusus autis, seperti yang saya jumpai ketika berkunjung ke Citra Mulya Mandiri, Maguwo. Saya sempat sedikit berbincang dengan salah satu orang tua yang mengatakan bahwa mereka berharap bahwa dengan jalan terapi tersebut diharapkan anak dapat lebih memahami bahasa komunikasi, mampu berinteraksi dengan dunia sekitarnya dan sanggup mengendalikan emosi, meskipun mungkin tidak bisa sepenuhnya normal seperti anak-anak lainnya.
Eni Winarti, kepala sekolah Citra Mulya Mandiri, mengatakan kalau dalam praktek pendidikan, dibentuk kelompok yang biasanya terdiri dari tiga orang anak untuk mengajarkan sosialisasi diawali dengan interaksi antar teman. Namun guru sekaligus terapis punya satu peran lagi yaitu sebagai pendamping dimana satu guru mendampingi satu anak atau dikenal dengan istilah individual education.
Metode terapi dengan komunikasi interpersonal juga diterapkan di sekolah autis Biji Sesawi Semarang. Menurut keterangan dari Vincentia Esthanya, yang pertama penting diajarkan perlahan oleh terapis adalah kontak mata, minimal sampai hitungan ke-3 dan kalau sudah bisa baru sampai ke hitungan ke-5. Proses tersebut dilakukan bertahap, setiap hari, dan tidak boleh dipaksakan.
Terapis juga harus menggunakan bahasa paling sederhana, singkat dan jelas, dan lebih banyak memakai isyarat tubuh serta alat berwarna untuk menjelaskan apa yang mau dikatakan. Selain itu, terapis juga harus sabar mengulang kata sampai melekat di ingatan anak dan memberikan apa yang mereka suka atau hadiah ketika berprilaku baik atau menjawab pertanyaan dengan tepat
Menurut Vincentia, memang sangat sulit mengajak bicara anak autis terutama dengan komunikasi interpersonal, apalagi jika si anak belum menyukai terapisnya. Mereka juga lebih banyak tertarik berkomunikasi dengan terapis jika memakai gambar, tulisan, isyarat dan warna. Jika meminta sesuatu, mereka lebih banyak berkomunikasi dengan cara menangis, berteriak, menarik baju, tangan bahkan rambut orang siapapun itu, untuk minta diambilkan keinginannya, atau bahkan langsung menyerobot milik orang lain.
Kebanyakan orang tua ternyata menggunakan obat penenang untuk meredam seketika emosi anaknya, namun di Taman Biji Sesawi penggunaan obat dihentikan perlahan. Mereka lebih memfokuskan pada komunikasi terapeutik, yaitu komunikasi yang dilakukan terapis dengan perencanaan dan bertujuan pada kesembuhan klien. Pada dasarnya terapeutik membantu klien memperjelas dan mengurangi beban pikiran dan perasaan untuk dasar tindakan guna mengubah sebuah situasi kurang baik.
Di Taman Biji Sesawi, terapis melakukan dua bentuk terapi, yaitu yang bersifat fisik dan komunikatif. Terapi fisik seperti toilet training, mengajarkan anak menggunakan fungsi kamar mandi dengan tepat, serta terapi agar anak mampu menggunakan otot-otot motorik untuk melakukan kegiatan dasar seperti makan dengan sendok. Mereka dilatih untuk mengembangkan keterampilannya seperti terapi yang dilakukan pada Jimmy tadi.
Untuk terapi komunikasi, antara lain dengan terapi visual, terapi bicara, dan terapi sosial-bermain. Terapi visual dilakukan dengan mengembangkan metode belajar komunikasi memakai gambar, video serta televisi. Terapi bicara, mengajarkan anak untuk mengucapkan kata-kata sederhana seperti selamat pagi, menyebut namanya sendiri, dan mengucapkan kata mama atau papa. Terapi sosial dan bermain, memfasilitasi anak untuk bergaul serta bersosialisasi bersama teman sebaya dengan mengaplikasikan hasil dari terapi bicara.
Terapi ini sesuai dengan teori belajar dari behaviorisme (Rakhmat, 2008:270). Anak-anak memperoleh pengetahuan bahasa melalui tiga proses yaitu asosiasi, imitasi dan pengetahuan. Asosiasi berarti melazimkan suatu bunyi dengan objek tertentu, imitasi berarti menirukan pengucapan atau struktur kalimat yang didengarnya, sedangkan peneguhan dimaksudkan sebagai ungkapan kegembiraan yang dinyatakan ketika anak-anak mengucapkan kata-kata dengan benar.
Oleh karena melatih pembelajaran anak autis lebih sulit daripada anak normal pada umumnya, seorang terapis sekaligus komunikator harus memiliki kesabaran tinggi dan mampu memahami permasalahan mendasar autisme. Aristoteles menyebut karakter komunikator ini sebagai ethos, terdiri dari pikiran baik, akhlak baik, dan maksud baik (Rakhmat, 2008:255).
Ethos atau faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas komunikator terdiri dari kredibilitas, atraksi dan kekuasaan. Kredibilitas menyangkut keahlian komunikator dalam menyampaikan suatu pesan, atraksi menyangkut daya tarik komunikator dari segi penampilan maupun bahasa tubuh serta tutur kata, dan kekuasaan menyangkut pengaruh yang diberikan dari komunikator kepada individu sehingga individu mau menurut, misalnya, anak autis yang sudah menyukai terapisnya, tentu akan lebih mudah diarahkan untuk melakukan berbagai hal. Seorang terapis harus memiliki ketiga efektifitas komunikator tersebut agar mampu mendidik anak autis menjadi pribadi yang dapat mengubah hal-hal merusak dalam gangguan autismenya menjadi bekal untuk meraih masa depan cemerlang, seperti yang terjadi pada Jimmy.
Kesimpulan
Meskipun mengalami masalah dalam komunikasi, namun anak autis bukanlah manusia yang tidak akan pernah bisa melakukan aktifitas-aktifitas seperti manusia normal lainnya. Secara psikologi komunikasi, anak autis memang bisa dikatakan menjadi kasus yang sangat unik dibandingkan dengan psikologi manusia normal pada umumnya. Bahkan bisa dikatakan mereka seperti menyimpan sebuah misteri dalam dirinya yang tidak akan pernah terungkap jika mereka tidak pernah dibimbing untuk memahami makna kehidupan terutama menyangkut komunikasi dan interaksi sosial.
Seorang anak autis yang ternyata mampu menjadi pelukis, teknisi, dsb, itulah sebagian kecil dari misteri yang tersingkap berkat terapi dengan metode komunikasi terapeutik dimana terapis maupun orangtua tak henti-hentinya mengasah kemampuan komunikasi anak dengan kehangatan hubungan antarpribadi atau interpersonal. Keluarga dan terapis bisa memotivasi diri anak untuk tidak terus larut dalam gangguan autisme, setidaknya mereka bisa lebih memahami makna kehadiran orang-orang di sekitarnya meskipun jika hanya mampu melakukan bentuk komunikasi yang paling sederhana seperti memeluk orangtuanya untuk menunjukkan rasa sayang.
Greenspan, S.T & Wieder, S.2006.The Child with Special Needs (Anak Berkebutuhan Khusus).(Terjemahan).Jakarta Penerbit Yayasan Ayo Main
DAFTAR PUSTAKA
Greenspan, S.T & Wieder, S.2006.The Child with Special Needs (Anak Berkebutuhan Khusus).(Terjemahan).Jakarta : Penerbit Yayasan Ayo Main
Harris, Thomas. 1987. Saya Oke, Kamu Oke. Jakarta : Penerbit Erlangga
Rakhmat, Jalaluddin. 2008. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Santrock, John W. 2007. Remaja. Jakarta : Penerbit Erlangga
Solso Robert, Otto dan Kimberly Maclin. 2007. Psikologi Kognitif. Jakarta : Penerbit Erlangga
Yatim, Faisal. 2007. Autisme, suatu gangguan kejiwaan. Jakarta : Pustakan Populer Obor

Pekerja Sosial Masyarakat

“Tidak benar pernyataan kemiskinan sudah menurun. Masyarakat desa terutama daerah pelosok masih banyak yang merintih. Pembagian kartu jaminan kesejahteraan sosial masyarakat tidak merata, banyak juga yang mendapat tetapi tidak bisa menggunakannya”

Pernyataan dari para para Pekerja Sosial Masyarakat tersebut dilontarkan untuk menyikapi masih sulitnya masyarakat miskin memperoleh berbagai jaminan kesejahteraan sosial yang dijanjikan negara. Kondisi terdesak kebutuhan ekonomi seperti ini pernah dialami oleh seorang pedagang angkringan bernama Sukani. Pria ini sempat putus asa karena tidak mampu membiayai pendidikan anak-anaknya. Ada juga seorang pria bernama Papang yang tidak mampu membayar biaya pengobatan ginjal ayahnya

Sukani dan Papang, hanya sedikit contoh dari banyak orang-orang tidak mampu yang bisa berdiri tegak kembali setelah mendapat uluran tangan dari para pekerja sosial masyarakat (PSM).

Kini, Sukani sudah mulai tersenyum lega setelah beberapa bulan lalu kehilangan harapan,“Saya sudah bisa menyekolahkan anak-anak dari hasil angkringan. Berkat program pendampingan dari PSM, didampingi langsung oleh Mas Priyono sebagai penggagas kelompok angkringan Kube Mandiri ini,” ungkap Sukani yang membuka angkringannya di seputaran area Mandala Krida.

Sama halnya dengan Sukani, Papang, seorang warga Bantul, merasa peran PSM sangat total dalam membantu mendapatkan keringanan biaya rumah sakit. “PSM langsung bertindak menghubungi dinas sosial dan pejabat terkait lainnya, sampai akhirnya dana bantuan untuk cuci darah tersebut bisa cair. Dan saya kagum karena mereka non-profit, tidak menarik keuntungan apapun,”ujarnya.

Dalam pandangan mereka, anggota pekerja sosial masyarakat adalah relawan sosial. “Sampai sekarang tidak pernah Mas Pri meminta uang kepada saya, imbalan rokok sekalipun dia tolak,” tegas Sukani.

Status para pekerja sosial masyarakat ini adalah relawan, bukan pegawai negri sipil Mereka juga bukan Lembaga Swadaya Masyarakat. Meski begitu organisasinya ada di seluruh Indonesia dan berada di bawah naungan Departemen Sosial Republik Indonesia

Berdasarkan keterangan dari website resmi Departemen Sosial, pemerintah melalui Departemen Sosial RI sejak tahun 1979 telah melatih masyarakat sebagai motivator, stabilisator dan pendamping sosial dalam masyarakat yang kemudian disebut dengan nama Pekerja Sosial Masyarakat (PSM).

Menurut Departemen Sosial, dilatarbelakangi pertimbangan atas permasalahan sosial dalam masyarakat begitu kompleks sehingga diperlukan penanganan secara sungguh-sungguh, cepat, tepat dan berkelanjutan. Maka untuk menyelesaikan permasalahan sosial dalam masyarakat tersebut diperlukan adanya motivator, stabilisator dan pendamping sosial yang hidup serta berkembang dalam masyarakat itu sendiri.

Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, Drs. Rusli Wahid, dalam buku pedoman kebijaksanaan dan strategi pemberdayaan pekerja sosial masyarakat, menerangkan lebih lanjut mengenai organisasi ini. PSM merupakan relawan dari masyarakat yang berdomisili di desa-desa sampai kelurahan seluruh Indonesia

Rusli Wahid juga menegaskan bahwa pekerja sosial masyarakat mempunyai posisi strategis sebagai mitra pemerintah dalam pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial di tingkat desa atau kelurahan. “PSM adalah warga masyarakat yang peduli, memiliki wawasan, komitmen kesejahteraan sosial, telah mengikuti program pendidikan dan pelatihan kesejahteraan sosial. Mereka disebut pula sebagai relawan sosial,” terangnya.

Selain itu, tambah Rusli, sebagai motivator, stabilisator dan pendamping sosial, perlu dibekali pengetahuan dan pemahaman lebih terhadap permasalahan sosial yang ada dalam lingkungannya, untuk selanjutnya berkiprah sesuai dengan kultur dan tradisi lingkungan sehingga tidak terkesan ekslusif.

Fasilitas kegiatan PSM cukup sederhana. Mereka hanya memiliki baju seragam, atribut, buku panduan dan tanda pengenal. Melawan ketidakadilan birokrasi organisasi terhadap masyarakat miskin adalah inti dari perjalanan karya seorang pekerja sosial masyarakat. Mereka membuat program-program pemberdayaan masyarakat untuk menjembatani masyarakat memperoleh hak kesejahteraan sosial seperti yang dijanjikan negarat. Ketika harus melawan ketidakadilan birokrasi organisasi yang kerap berpihak pada kuasa uang, mereka akan mengajukan argumen sesuai dasar peraturan negara mengenai jaminan hak kesejahteraan sosial masyarakat.

Hal ini pula yang selama ini dilakukan oleh sosok pria bertubuh kurus bernama Priyono. Pria ini sudah tak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat miskin di daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Ia merupakan salah satu pekerja sosial masyarakat (PSM) Jogja yang dikenal paling aktif menangani berbagai permasalahan kesejahteraan sosial.

Priyono mengatakan, pekerja sosial masyarakat harus berkarya dengan hati nurani, semaksimal mungkin membantu terselesaikannya masalah sosial terutama yang diakibatkan oleh ketidakadilan birokrasi. “Dan yang paling penting jangan pernah meminta maupun menerima imbalan.”

Dalam rumahnya yang sangat sederhana di Semaki Gede, Yogyakarta, Priyono menyimpan rapi seluruh arsip mengenai dasar hukum kegiatan Pekerja Sosial Masyarakat. Tak hanya itu, ayah dua anak ini juga menyimpan berbagai peraturan perundang-undangan negara mengenai hak kesejahteraan sosial masyarakat. Dan yang paling menarik adalah catatan-catatan yang menunjukkan telah terselesaikannya masalah biaya masyarakat tidak mampu, dilengkapi dengan tanda bukti pengesahan yang diberikan langsung oleh para pejabat-pejabat didaerah.

Priyono menegaskan, semua data tersebut menunjukkan kalau kinerja pekerja sosial masyarakat benar adanya dan bisa dipertanggungjawabkan.”Boleh juga ditanyakan pendapat setiap orang yang kami bantu ini, apakah pernah kami meminta atau menerima sesuatu dari mereka sebagai balas jasa?”katanya.

Para relawan ini tidak memperoleh gaji dari pemerintah seperti mereka yang menyandang status pegawai negri sipil. Namun, bekerja tanpa imbalan bukan berarti mereka berasal dari keluarga mapan.

Priyono telah 12 tahun bekerja sebagai PSM. Pekerjaan ini tidak menjanjikan materi apapun padanya. Oleh karena itu, di sela-sela aktifitasnya sebagai PSM, Priyono tetap harus bekerja untuk mendapatkan pemasukan ekonomi bangi keluarganya. Hal ini harus dilakukan untuk menutup pengeluaran yang besar terutama jika harus bepergian menemui masyarakat di wilayah yang jauh dari kota Jogja.

”Kalau dompet saya bisa nangis, pasti dari dulu menangis, karena harus siap selalu tekor biaya terutama untuk bensin. Tapi sekali lagi kembali pada hati nurani, jika ikhlas pasti selalu akan ada jalan,”ujarnya pasrah.

Priyono berkata dirinya bersukur mendapat kontrak menjadi supervisor untuk yayasan pembasmi jentik nyamuk sampai akhir Juli 2010.”Tetapi setelah kontrak selesai, saya harus berusaha mencari sumber pemasukan lain untuk biaya hidup keluarga,”ujarnya seraya tersenyum.

Sebelumnya, mantan ketua PSM kecamatan Semaki ini juga menjajaki usaha menjual parfum botolan yang didistribusikan di wilayah-wilayah seputar Jogja. “Memang penghasilan tidak tetap, tapi paling tidak untuk satu bulan bisa mendapat Rp.400.000,00 dan bisa saya gunakan untuk keluarga serta menambah biaya menjalankan kegiatan PSM,” ujar Priyono.

Dana kegiatan sosial para anggota PSM diberikan oleh dinas sosial sebulan sekali setiap rapat di kelurahan. “Namanya uang absensi. Jadi anggota PSM yang datang ke rapat membahas masalah-masalah masyarakat di kelurahannya masing-masing, diberikan uang absensi itu. Setiap orang sebesar Rp.6.000,00,”jelasnya.

Sama halnya menurut Sri Widyaningsih Wahwu, ketua Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat (IKPSM) Keparakan. Selain itu, di setiap kecamatan juga mengumpulkan dana secara swadaya.

“PSM memang tidak dibayar untuk membantu program pemerintah, tetapi yang pasti kami iklas mendampingi mereka yang perlu pendampingan sosial, dan semua dilakukan tanpa imbalan,” kata Sri.

Menurut wanita yang membuka usaha ayam bakar di rumahnya ini, kerjasama kelembagaan PSM memang sangat kuat dari tingkat nasional hingga kecamatan di Indonesia,“Misalnya saja untuk kecamatan Keparakan, kami selalu mengadakan musyawarah, mencari solusi bagaimana bisa memecahkan masalah-masalah sosial di sekitar lingkungan.”

Selain itu, untuk menunjang kegiatan pendampingan masyarakat, PSM juga melakukan pembinaan di Panti Karya yang terletak di jalan Penaungan, Brontokusuman, Yogyakarta. Kegiatan di tempat ini antara lain penanganan orang hilang yang ditemukan di Yogyakarta, kekerasan dalam rumah tangga, pembinaan anak jalanan, bantuan untuk para warga lanjut usia.

Sri mengatakan, inilah salah satu wujud program PSM yang tanggap masalah sosial. Dalam mendampingi orang terlantar, gelandangan, dan gangguan mental, harus dilakukan penyelidikan dari mana mereka berasal.

“Mereka ditampung di Panti Karya, dilakukan pendampingan setidaknya untuk membuat kondisi fisik dan mentalnya lebih baik, sampai jelas siapa keluarganya. Dan jika ternyata berasal dari daerah lain, sudah ada dana pemulangan khusus dari propinsi,”ujarnya.

Sedangkan pendampingan sosial untuk masalah kesehatan dan pendidikan, menurut Sri, harus dipastikan ke rumah orang tersebut apakah mereka benar-benar bukan keluarga berpenghasilan tetap dan mapan. Selain itu, perlu diketahui apakah keluarga tersebut memiliki Jaminan Kesejahteraan Sosial (Jamkesmas), Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), ataupun Kartu Menuju Sehat (KMS). “Jika mereka memiliki semua itu namun tetap kesulitan mendapat keringanan, PSM yang akan mendampingi sampai menghubungi dinas sosial setempat dan instansi terkait lainnya,”ujar Sri.

Saat mengusahakan keluarnya ijazah yang ditahan pihak sekolah karena siswa tidak mampu membayar, PSM berupaya menjembatani hingga ke dinas pendidikan kota untuk mencari solusinya. “Diusahakan mereka yang benar-benar tidak mampu paling tidak bisa mendapat keringanan biaya,”ujar Sri.

Dari salah satu pengalaman yang diingat Priyono baru-baru ini, saat hendak memasuki masa ujian sekolah, ada empat orang ibu yang datang ke rumahnya. “Mereka mengeluh anak-anaknya tidak diijinkan ujian karena belum mampu membayar biaya. Akhirnya, saya ajak menemui kepala dinas pendidikan Yogyakarta, Drs. Syamsuri,”ungkapnya.

Priyono mengungkapkan, Drs. Syamsuri bisa memahami permasalahan tersebut,“Setiap orangtua hanya membayar biaya ujian tersebut sampai jumlah yang mereka mampu saja, dana selebihnya dibantu oleh dinas pendidikan.”

“Saya berani katakan, selama ini dari pengalaman PSM selama berkoordinasi dengan pemerintah daerah kota Yogyakarta, masalah menyangkut masyarakat seperti ini selalu ditanggapi sangat baik dan cepat,”ungkapnya.

Totalitas pendampingan para pekerja sosial masyarakat itulah yang juga sangat dirasakan Papang. Dia mengatakan, seluruh penghasilan dan harta milik keluarga sudah digunakan seluruhnya untuk biaya cuci darah.

“Saya sempat bingung juga karena tidak punya Surat Keterangan Tidak Mampu maupun jaminan kesehatan lainnya. Akhirnya, ada tetangga saya menyarankan untuk meminta pendampingan pekerja sosial masyarakat,”kisahnya.

Saat membantu Papang, ungkap Priyono, sempat juga terjadi adu argumentasi dengan camat, lurah, dan pihak lembaga yang mengurus klaim,“Saya tunjukkan bukti kartu nama dan seragam PSM sebagai kepanjangan tangan dinas sosial. Kalau memang pelayanan terhadap orang kecil seperti ini tidak jalan saya akan ajukan ke dinas atau faks mentri kesehatan.”

Akhirnya, permohonan klaim dikabulkan dan Papang mendapat uang pencairan klaim serta potongan gratis 8 kali cuci darah dari Jaminan Kesehatan Sosial (Jamkesos).

Masalah serupa juga terjadi saat seorang buruh cuci meminta bantuan pendampingan untuk meringankan biaya rumah sakit bagi anaknya yang stress. “Perawatan selama 2 minggu disuruh membayar biaya rumah sakit milik pemerintah itu sebesar Rp. 1.900.000,00, padahal punya surat keterangan tidak mampu.”

“Saya perlihatkan aturan-aturan jaminan kesejahteraan sosial, keluarkan kartu nama PSM, tapi namanya debat dengan orang ngeyel, jalan akhir saya ajukan pengaduan ke DPR propinsi,”ujarnya.

Beberapa waktu kemudian, lanjutnya, ibu itu mengabarkan kalau pihak rumah sakit bersedia memberikan keringanan dan hanya mengharuskan membayar Rp. 900.000,00.”

Menurut seorang anggota forum komunikasi PSM dari kelurahan Gondokusuman, Koen Surahman, masalah seperti ini banyak muncul karena masih lemahnya koordinasi antar pemerintah dan lembaga-lembaga layanan masyarakat.

Koen menegaskan, jika pemerintah ingin membuat suatu program sebaiknya dilakukan sosialisasi optimal dengan lembaga-lembaga terkait,“Sosialisasi perlu dilakukan supaya realisasi program jaminan kesejahteraan sosial masyarakat itu dapat diterapkan tepat sasaran.”

Misalnya saja untuk masalah kesehatan. Masyarakat miskin masih sering dibebani membayar biaya yang cukup besar. ”Kartu Menuju Sehat (KMS) fungsinya untuk menebus obat harusnya tidak dikenakan biaya karena obat ditanggung rumah sakit,”ungkapnya.

Selain itu, menurut Koen, banyak orang yang tidak tahu bagaimana seharusnya prosedur mendapatkan jaminan sosial diberlakukan. Maka untuk mereka yang tidak mampu secara ekonomi perlu pendampingan jika menemui kesulitan-kesulitan tersebut. “Oleh karena PSM tahu persis aturan-aturan itu, ada data yang sangat akurat dari dinas sosial, dalam melaksanakan tanggungjawab pendampingan, kami tidak pernah sembarangan bertindak. Semua ada dasarnya,”ujarnya.

Di sisi lain, selain membantu penanganan masalah sosial yang perlu secepatnya diatasi, anggota PSM juga jeli memikirkan program sosial yang bisa meningkatkan kecukupan ekonomi masyarakat miskin. Ini bisa dilakukan melalui pendampingan usaha mandiri masyarakat, seperti program terbaru PSM Yogyakarta selama enam bulan terakhir ini. “Ada 50 pedagang angkringan binaan PSM kota antara lain di Malioboro dan Mandala Krida, kami jadikan satu kelompok yang disebut Kube Mandiri,”jelas Priyono.

Untuk pengelolaan lebih lanjut terutama masalah dana, PSM bekerjasama dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Yogyakarta serta dinas sosial, dan juga mendapat kepercayaan langsung dari ibu wakil walikota, Anna Muslichdatun.

Sukani, anggota Kube Mandiri, mengaku sebelumnya sempat putus asa atas terbatasnya biaya penddidikan. “Saat ketemu dengan mas Priyono saya diajak bergabung dalam kelompok Kube Mandiri, sekarang hasil mulai bisa dirasakan terutama menunjang pendidikan anak-anak,”ungkap pria pemilik angkringan di Jalan Tunjung belakang Mandala Krida ini.

Pada dasarnya, pekerja sosial masyarakat dapat menjadi salah satu pilar pembangunan bangsa dalam meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat yang butuh perhatian, seperti yang dikatakan Ibnu Gerindra dari PSM kelurahan Terban. “Organisasi sosial ini dibentuk dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Sebagai lembaga legal diakui pemerintah, PSM menjadi ujung tombak penanganan masalah di wilayah masing-masing,” jelasnya.

Di wilayah Yogyakarta, menurut Ibnu, ada sekitar seribu pekerja sosial masyarakat dari kelurahan, kecamatan, kota sampai propinsi. Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap pengurus memahami apa arti sesungguhnya PSM untuk masyarakat. “Jangan hanya menangani hal-hal sebatas birokrasi seperti mendata orang, tapi tidak pernah langsung datang ke lapangan menemui masyarakat kecil, memahami masalah mereka dan berupaya mencari solusinya,” tegas pria yang pernah mendapat penghargaan sebagai PSM teladan ini.

“Setiap orang yang telah memiliki panggilan hati menjadi relawan ini, secara organisasi harus paham benar mengenai visi dasar hukum serta visi dan misi PSM, posisinya di tengah pemerintah dan masyarakat, serta tujuan dari setiap program yang dijalankan,” ujar Priyono.

Selain itu, Sri Widyaningsih Wahwu juga menambahkan, anggota pekerja sosial masyarakat harus pandai berkomunikasi serta dapat menjaga relasi dengan semua pihak mulai dari masyarakat hingga kalangan pemerintahan.

Oleh karena itu, seperti yang dijelaskan Ibnu Gerindra, dalam rangka meningkatkan kinerja membangun kesejahteraan sosial, dibentuk pula Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat (FKPSM). Forum ini berada dibawah binaan Departemen Sosial. “Melalui FKPSM, semua anggota PSM seluruh Indonesia bisa berkomunikasi, berkoordinasi, dan berkonsultasi mengenai kegiatan-kegiatan sosial,”terang Ibnu Gerindra.

Selain itu, lanjutnya, tujuan FKPSM juga untuk meningkatkan kualitas kerja setiap anggota terutama dalam membangun kemitraan dengan berbagai pihak.

“Terutama jika menghadapi situasi tanggap darurat seperti bencana alam di suatu wilayah, FKPSM di setiap kota bisa melakukan koordinasi mengumpulkan bantuan yang diperlukan masyarakat,”jelasnya.

Maka, untuk mengemban seluruh tugas sosial tersebut, sudah seharusnya anggota pekerja sosial masyarakat juga diperhatikan kesejahteraannya, mengingat sebagai relawan tanpa bayar mereka harus mencari sendiri pemasukan ekonominya.

Ibnu mengungkapkan, meski tidak digaji, kesejahteraan PSM tetap diperhatikan oleh dinas sosial dengan memberikan bimbingan dasar ekonomi produktif,“Ada bimbingan bagaimana memperoleh pemasukan dengan membentuk usaha-usaha kelompok maupun pribadi. Disitulah PSM dilibatkan, jadi tidak langsung diberikan gaji atau sejenisnya.”

Ini juga merupakan wujud keteladanan yang dicontohkan kepada masyarakat. “Tidak ada artinya jika seseorang selalu mengomentari permasalahan sosial tetapi tidak pernah bergabung dengan masyarakat melakukan usaha untuk meminimalisir masalah tersebut,”jelasnya.

Seperti yang diungkapkan Priyono, tidak benar jika dikatakan kemiskinan sudah menurun. “Kami tahu persis ketika mendatangi masyarakat di desa-desa dan daerah pelosok. Masyarakat merintih. Jamkesos, Jamkesmas, SKTM, banyak yang tidak mendapat karena pembagiannya tidak rata, dan banyak juga yang dapat jaminan tersebut, tetapi tidak bisa digunakan,” ungkap Priyono.

Dalam menangani masalah sosial di masyarakat, seharusnya pemerintah tidak hanya melakukan pendataan jarak jauh ataupun memberikan komentar-komentar, namun tidak melihat realitas kehidupan masyarakat daerah-daerah yang kurang perhatian. Jika hanya dilakukan demikian, tetap saja suatu program yang dirancang tidak akan berjalan tepat sasaran. Peluang oknum-oknum tertentu untuk mengeruk keuntungan juga akan semakin besar.

Kinerja para relawan ini bisa dijadikan contoh. Mereka menghabiskan sebagian besar waktu dan biaya pribadi untuk melakukan berbagai aktivitas sosial.Semua itu tanpa memikirkan hasil dibelakang. Hal itulah yang seharusnya dilakukan pemerintah pusat hingga pemerintah daerah, sehingga layak jika memang ingin disebut sebagai wakil rakyat.