Total Tayangan Halaman

Senin, 25 Juli 2011

Ayunan Kayu

Aku tak pernah mengetahui, bagaimana rasanya ketika raga ini masih berupa rancangan hidup. Entah kehangatan seperti apa yang tercipta dalam ruang putih itu,tempat persinggahan jiwa-jiwa baru memekikkan teriak kebebasannya.

Tetapi, aku bisa mengingat dimana letak prasasti hidup atas nama cinta kedua orangtuaku,pertama kali diletakkan sang takdir,dua tahun setelah nafas hidupku berhembus sempurna.

Yah, aku selalu cukup sadar untuk mengabadikan memori bahwa sebuah ayunan kayu-lah yang mengawali seluruh perjalananku menyusupi ruang dan waktu.

Sedikit ingatan mengenai masa itu.Ketika duduk di atas ayunan kayu,aku mengucapkan terima kasih pada dia yang berbisik lembut dalam hatiku.'Terima kasih telah membawaku dalam dunia baru ini,detik ini akan ku ingat sebagai sebuah awal dimana alam sadarku menyadari,bahwa langkah kaki ini telah menjadi satu dengan bumi."

Rona Jingga Langit Tua

Kawan, di masa silam akulah sosok jiwa muda pengagum pusaran langit.

Alangkah bahagianya raga kecilku menatap peraduan mentari. Ia membenamkan dirinya dibawah bingkai langit yang menua tergerus peradaban bumi. Pipi langit tua itu nampak di Ujung Pandangan mataku, merona cantik dengan riasan jingga cerah diatas gelombang biru.

Muda dan tersenyum, aku berdiri di pusat kota bersama para pemilik hatiku. Dan kemudian, aku kian menyadari, kecantikan langit tua tak hanya menjadi milik kami. Mereka-sesamaku manusia ciptaan Tuhan yang berbahagia-berada pula disana,memandang hitam putih selimut malam.

Namun nafas langit tua semakin tajam menghembus lapisan kulit berlapis sedikit lemak. Aroma laut Losari menyatu bersama malam bertabur bintang. Raga lapar dan dahaga terdorong kuat menilik satu dari puluhan tenda putih bersaji hidangan penghuni laut lepas.

Dan satu waktu di masa kecilku telah terlalui bersama langit tua yang kini kian keriput dibalut tebalnya polesan debu bumi manusia.