Total Tayangan Halaman

Jumat, 02 September 2016

Sepatu Lumpur

Sepatu hitam bapak saya ketemu
kemarin senja
diam-diam tanpa permisi
mengajak bapak berendam
di seceruk telaga lumpur

mendadak hujan turun
dari rongga-rongga mata saya
lengan seragam yang lusuh
jadi sedikit basah

#

Di kuburan ibu saya bilang takut sekolah
selain bapak, kawan sebangku saya punah
sepatu jeleknya ikut hancur
seperti sepatu bututnya bapak 

#

Mungkin Ibu mengadukan saya pada bapak
malam hari Ia menyusup
ke celah-celah mimpi saya

Saya cari kakinya, mungkin di alam sana 
bapak sudah lepas sepatu
tapi jemarinya yang pucat itu
keburu menjewer kuping saya

"Hey nak. jika kau ‘nyerah sekolah, siapa benih masa depan,
di sekelumit sisa tanah kita!”


#

“Duh, Pak. sekarang saya masih bocah. 
Sepatu saja tambal-tambal.”

Saya jadi sedih, sangat!
teringat takdir bapak yang mati
bersama senandung syahdunya Ibu
kemana lagi saya cari pelukan
cinta saya dirampas hingga tuntas

#

Ah. sudahlah...
Bapak dan Ibu
pasti mau saya cepat dewasa 
supaya bisa pulang kampung
menaman kembali sisa-sisa tubuh alam
yang kian tersengal nafasnya

Bu, Ibu...
sampaikan pada bapak 
jangan lagi bermuka masam
sepatu lumpurnya mau saya tambal 
supaya jejak kaki bapak
berjalan dengan saya
meniti jembatan menganga 
di dekat sekolah
dan jembatan lain 
di sendirinya masa depan saya


Pak, tenanglah...
mungkin kelak nanti 
saya ini termasuk
suara-suara manusia alam 
yang dipangkas hingga tuntas
pada tanah lahirnya sendiri

Baiklah, tidak mengapa
asalkan nyawa perjuangan bapak
dan petani lain
terkenang ulang
dan tanah tertindas kita
dibebaskan dari besi-besi pengeruk
milik kaum-kaum tirani kota

Doakan Saya,
Si Bocah Bersepatu Lumpur.


Tidak ada komentar: