Sepatu
hitam bapak saya ketemu
kemarin senja
diam-diam tanpa permisi
mengajak bapak berendam
di seceruk telaga lumpur
mendadak hujan turun
dari rongga-rongga mata saya
lengan seragam yang lusuh
jadi sedikit basah
#
Di kuburan ibu saya bilang takut sekolah
selain bapak, kawan sebangku saya punah
sepatu jeleknya ikut hancur
seperti sepatu bututnya bapak
#
Mungkin Ibu mengadukan saya pada bapak
malam hari Ia menyusup
ke celah-celah mimpi saya
Saya cari kakinya, mungkin di alam sana
bapak sudah lepas sepatu
tapi jemarinya yang pucat itu
keburu menjewer kuping saya
"Hey
nak. jika kau ‘nyerah sekolah, siapa benih masa depan,
di sekelumit sisa tanah kita!”
#
“Duh, Pak. sekarang saya masih bocah.
Sepatu saja tambal-tambal.”
Saya jadi sedih, sangat!
teringat takdir bapak yang mati
bersama senandung syahdunya Ibu
kemana lagi saya cari pelukan
cinta saya dirampas hingga tuntas
#
Ah. sudahlah...
Bapak dan Ibu
pasti mau saya cepat dewasa
supaya bisa pulang kampung
menaman kembali sisa-sisa tubuh alam
yang kian tersengal nafasnya
Bu, Ibu...
sampaikan pada bapak
jangan lagi bermuka masam
sepatu lumpurnya mau saya tambal
supaya jejak kaki bapak
berjalan dengan saya
meniti jembatan menganga
di dekat sekolah
dan jembatan lain
di sendirinya masa depan saya
Pak, tenanglah...
mungkin kelak nanti
saya ini termasuk
suara-suara manusia alam
yang dipangkas hingga tuntas
pada tanah lahirnya sendiri
Baiklah, tidak mengapa
asalkan nyawa perjuangan bapak
dan petani lain
terkenang ulang
dan tanah tertindas kita
dibebaskan dari besi-besi pengeruk
milik kaum-kaum tirani kota
Doakan Saya,
Si Bocah Bersepatu Lumpur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar